Siapapun berhak
untuk hidup sehat, tidak pernah ada satu orangpun di dunia yang ingin merasakan
sakit. Karena sehat tetaplah pilihan terbaik untuk menjalani kehidupan. Tetapi
bukan berarti saat kita sakit kita menyerah dan putus asa. Bukan berarti sakit
menjadi alasan untuk menyalahkan keadaan yang ada. Allah telah memberikan
cobaan sesuai kemampuan ummat-Nya.
Seperti
biasa, saya bertugas keliling bangsal untuk mengambil sampel darah pasien. Kali
ini saya harus sampling di bangsal anak, di mana puluhan anak harus saya “sakiti”.
Kadang ada rasa pilu, ketika melihat mereka menangis saat saya mengambil sampel
darah mereka. Tak jarang saya kebingungan dan kesulitan jika harus menghadapi
mereka. Bukan saya takut, tapi lebih kepada rasa tak tega. Selalu saya yakini kedalam hati bahwa apa yang saya lakukan untuk
kebaikan mereka juga.
Ada
yang berbeda pagi itu, Nakira pasien leukimia (kanker darah) berusia 8 tahun
yang biasa saya panggil dengan sebutan Ira tiba – tiba menangis saat saya akan
mengambil sampel darahnya. Tidak biasanya dia bersikap “aneh”, karena hampir
beberapa kali saya mengambil sampel darahnya dia tidak pernah menangis. Justru dia
selalu bercerita panjang lebar kepada saya, sampai sampai saya selalu terlambat
untuk kembali ke laboratorium. Tidak jarang dia membuat saya tertawa dengan
semua celotehannya yang menggemaskan. Saya tidak pernah bisa membayangkan
bagaimana jika Allah menukar posisi saya dengan Ira. Sel – sel kanker yang
hampir setiap waktu berubah dan bermutasi, semakin hari semakin menggerogoti tubuh
mungilnya. Tetapi saya heran, dengan rasa sakit yang begitu luar biasa dia
tidak pernah mengeluh apalagi menangis.
Biasanya
setiap saya menyiapkan peralatan sampling dan bersiap memasukkan jarum suntik
di lengan tangannya, dia selalu mengatakan “Bismillahirrahmaanirrahiim, ga
sakit kan mbak eci?ira kuat kok”. Kemudian dengan tenang dia duduk sembari
tersenyum dan juga mengulang hafalan ayat –ayat-Nya. Seperti tidak pernah ada
beban di hidupnya, hanya ketegaran dan kekuatan yang selalu saya lihat
menghiasi wajah mungilnya. Tetapi kali ini benar benar aneh, dia menangis
sejadi – jadinya. Sayapun dibuat kelabakan dan bingung harus bagaimana, karena
tidak mungkin jika saya kembali ke laboratorium tanpa membawa sampel darah Ira.
Pelan
pelan saya mencoba merayu, mengambil hatinya. “Ira cantik, kok nangis? Ira kan
pintar, biasanya kalau mbak ambil darahnya Ira ngulang hafalan kan?Kok sekarang
nangis?Kenapa sayang??”. Sekian lama saya menunggu jawaban dia hanya menangis
sesenggukan, kemudian jeda beberapa saat dia bertanya “mbak, kalau bohong itu
dosa ya? Dosanya seberapa banyak? Terus kalau membuat Ummi sama Abi menangis itu
juga dosa ya? Terus kalau jadi anak yang ga baik dan nakal itu juga dosa kan?”..
Seketika saya termenung, masih bertanya – tanya kenapa Ira berkata seperti itu.
“Iya sayang, itu semua perbuatan dosa. Ira tidak boleh melakukan itu ya dek,
nanti kalau Ira sudah sembuh terus Ira sudah sehat harus tumbuh jadi wanita
solehah yang baik yaa cantik” saya katakan sembari menyubit pipinya. Saya kira
setelah saya mengatakan itu ira berhenti menangis dan mau untuk diambil sampel
darahnya, tetapi justeru sebaliknya. Tangisannya semakin mengeras sampai sampai
saya semakin bingung dibuatnya.
Beberapa
saat, kondisinya mulai stabil dan berhenti menangis. Kemudian sambil
mengulurkan tangan untuk diambil darahnya dia berkata, “mbak, hari ini ira
sudah bohong sama Om dokter. Saat om Dokter bertanya apakah sakit atau tidak,
ira mengatakan tidak sakit. Padahal yang sebenarnya ira merasakan sakit di
perut ira. Ira sudah melakukan dosa sama Om dokter. Pagi tadi Ira melihat Abi
berdoa sambil menangis, Abi berkata kalau ira sakit parah dan memohon sama
Allah. Dan Ummi juga ikut menangis, Ummi mengatakan ira harus kuat. Ummi dan
Abi menangis karena ira sakit kan mbak? Jadi ira sudah melakukan dosa sama Ummi
dan Abi. Dan ira juga sudah menjadi anak yang nakal karena belum bisa menghafal
semua jus 30, padahal Ira sebentar lagi mau ketemu Allah dan Rasulullah. Ira
membuat Ummi dan Abi menangis, menyusahkan banyak orang.” Seketika saya memeluk
tubuhnya, seperti tidak ingin melepas pelukan hangat wanita kecil itu. Tidak
terasa, air mata menetes tidak henti – hentinya. Speechless, saya bingung harus
mengatakan apa. Hanya ada harapan besar di dalam hati, agar hari itu juga Allah
mengangkat semua rasa sakit yang dia rasakan.
Subhanalllah,
ternyata Allah telah mengirim malaikat kecil tanpa sayap dikehidupan saya. Ira
begitu mengajarkan banyak hal tentang kemuliaan hidup. SEjatinya memang ilmu
dan pelajaran yang ada tidak selalu didapat dari buku, tetapi juga dari
pengalaman dan lingkungan sosial seseorang. Ira mengajarkan saya makna tentang
kehidupan, bagaimana kita harus berjuang, semangat yang luar biasa, optimisme,
keyakinan pada Allah, cinta tulus yang suci, dan rasa syukur yang besar.
Kata – kata ira selalu menjadi cambukan keras untuk
diri saya pribadi, saya malu kepada Ira dan juga Allah. Saya yang diberi
kesempurnaan nikmat, tidak jarang melalaikan rasa syukur kepada Allah. Yaaa,
begitulah hidup. Terkadang hidup dengan kesempurnaan begitu melenakkan kita,
sampai kita lupa jati diri kita sebenarnya. Kita tidak lebih dari seonggok daging
dan tulang dengan pinjaman nyawa dari Allah. Semua yang ada pada diri kita
hanya pinjaman, Jika hari ini kita masih merasa bangga dengan semuanya, lihatlah
esok jika Allah menagih semua milik-Nya dalam sekejap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar