Sabtu, 25 Januari 2014

Belajar dari Nakira

Siapapun berhak untuk hidup sehat, tidak pernah ada satu orangpun di dunia yang ingin merasakan sakit. Karena sehat tetaplah pilihan terbaik untuk menjalani kehidupan. Tetapi bukan berarti saat kita sakit kita menyerah dan putus asa. Bukan berarti sakit menjadi alasan untuk menyalahkan keadaan yang ada. Allah telah memberikan cobaan sesuai kemampuan ummat-Nya.
                Seperti biasa, saya bertugas keliling bangsal untuk mengambil sampel darah pasien. Kali ini saya harus sampling di bangsal anak, di mana puluhan anak harus saya “sakiti”. Kadang ada rasa pilu, ketika melihat mereka menangis saat saya mengambil sampel darah mereka. Tak jarang saya kebingungan dan kesulitan jika harus menghadapi mereka. Bukan saya takut, tapi lebih kepada rasa tak tega. Selalu saya yakini  kedalam hati bahwa apa yang saya lakukan untuk kebaikan mereka juga.
                Ada yang berbeda pagi itu, Nakira pasien leukimia (kanker darah) berusia 8 tahun yang biasa saya panggil dengan sebutan Ira tiba – tiba menangis saat saya akan mengambil sampel darahnya. Tidak biasanya dia bersikap “aneh”, karena hampir beberapa kali saya mengambil sampel darahnya dia tidak pernah menangis. Justru dia selalu bercerita panjang lebar kepada saya, sampai sampai saya selalu terlambat untuk kembali ke laboratorium. Tidak jarang dia membuat saya tertawa dengan semua celotehannya yang menggemaskan. Saya tidak pernah bisa membayangkan bagaimana jika Allah menukar posisi saya dengan Ira. Sel – sel kanker yang hampir setiap waktu berubah dan bermutasi, semakin hari semakin menggerogoti tubuh mungilnya. Tetapi saya heran, dengan rasa sakit yang begitu luar biasa dia tidak pernah mengeluh apalagi menangis.
                Biasanya setiap saya menyiapkan peralatan sampling dan bersiap memasukkan jarum suntik di lengan tangannya, dia selalu mengatakan “Bismillahirrahmaanirrahiim, ga sakit kan mbak eci?ira kuat kok”. Kemudian dengan tenang dia duduk sembari tersenyum dan juga mengulang hafalan ayat –ayat-Nya. Seperti tidak pernah ada beban di hidupnya, hanya ketegaran dan kekuatan yang selalu saya lihat menghiasi wajah mungilnya. Tetapi kali ini benar benar aneh, dia menangis sejadi – jadinya. Sayapun dibuat kelabakan dan bingung harus bagaimana, karena tidak mungkin jika saya kembali ke laboratorium tanpa membawa sampel darah Ira.
                Pelan pelan saya mencoba merayu, mengambil hatinya. “Ira cantik, kok nangis? Ira kan pintar, biasanya kalau mbak ambil darahnya Ira ngulang hafalan kan?Kok sekarang nangis?Kenapa sayang??”. Sekian lama saya menunggu jawaban dia hanya menangis sesenggukan, kemudian jeda beberapa saat dia bertanya “mbak, kalau bohong itu dosa ya? Dosanya seberapa banyak? Terus kalau membuat Ummi sama Abi menangis itu juga dosa ya? Terus kalau jadi anak yang ga baik dan nakal itu juga dosa kan?”.. Seketika saya termenung, masih bertanya – tanya kenapa Ira berkata seperti itu. “Iya sayang, itu semua perbuatan dosa. Ira tidak boleh melakukan itu ya dek, nanti kalau Ira sudah sembuh terus Ira sudah sehat harus tumbuh jadi wanita solehah yang baik yaa cantik” saya katakan sembari menyubit pipinya. Saya kira setelah saya mengatakan itu ira berhenti menangis dan mau untuk diambil sampel darahnya, tetapi justeru sebaliknya. Tangisannya semakin mengeras sampai sampai saya semakin bingung dibuatnya.
                Beberapa saat, kondisinya mulai stabil dan berhenti menangis. Kemudian sambil mengulurkan tangan untuk diambil darahnya dia berkata, “mbak, hari ini ira sudah bohong sama Om dokter. Saat om Dokter bertanya apakah sakit atau tidak, ira mengatakan tidak sakit. Padahal yang sebenarnya ira merasakan sakit di perut ira. Ira sudah melakukan dosa sama Om dokter. Pagi tadi Ira melihat Abi berdoa sambil menangis, Abi berkata kalau ira sakit parah dan memohon sama Allah. Dan Ummi juga ikut menangis, Ummi mengatakan ira harus kuat. Ummi dan Abi menangis karena ira sakit kan mbak? Jadi ira sudah melakukan dosa sama Ummi dan Abi. Dan ira juga sudah menjadi anak yang nakal karena belum bisa menghafal semua jus 30, padahal Ira sebentar lagi mau ketemu Allah dan Rasulullah. Ira membuat Ummi dan Abi menangis, menyusahkan banyak orang.” Seketika saya memeluk tubuhnya, seperti tidak ingin melepas pelukan hangat wanita kecil itu. Tidak terasa, air mata menetes tidak henti – hentinya. Speechless, saya bingung harus mengatakan apa. Hanya ada harapan besar di dalam hati, agar hari itu juga Allah mengangkat semua rasa sakit yang dia rasakan.
Subhanalllah, ternyata Allah telah mengirim malaikat kecil tanpa sayap dikehidupan saya. Ira begitu mengajarkan banyak hal tentang kemuliaan hidup. SEjatinya memang ilmu dan pelajaran yang ada tidak selalu didapat dari buku, tetapi juga dari pengalaman dan lingkungan sosial seseorang. Ira mengajarkan saya makna tentang kehidupan, bagaimana kita harus berjuang, semangat yang luar biasa, optimisme, keyakinan pada Allah, cinta tulus yang suci, dan rasa syukur yang besar.
         Kata – kata ira selalu menjadi cambukan keras untuk diri saya pribadi, saya malu kepada Ira dan juga Allah. Saya yang diberi kesempurnaan nikmat, tidak jarang melalaikan rasa syukur kepada Allah. Yaaa, begitulah hidup. Terkadang hidup dengan kesempurnaan begitu melenakkan kita, sampai kita lupa jati diri kita sebenarnya. Kita tidak lebih dari seonggok daging dan tulang dengan pinjaman nyawa dari Allah. Semua yang ada pada diri kita hanya pinjaman, Jika hari ini kita masih merasa bangga dengan semuanya, lihatlah esok jika Allah menagih semua milik-Nya dalam sekejap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar