Clostridium botulinum merupakan bakteri
berbentuk batang, anaerobik (tidak dapat tumbuh di lingkungan yang mengandung
oksigen bebas), Gram-positif, dapat membentuk spora, dan dapat memproduksi
racun syaraf yang kuat. Sporanya tahan panas dan dapat bertahan hidup dalam
makanan dengan pemrosesan yang kurang sesuai atau tidak benar. Ada tujuh tipe
botulisme (A, B, C, D, E, F dan G) yang dikenal, berdasarkan ciri khas antigen
dari racun yang diproduksi oleh setiap strain. Tipe A, B, E, dan F dapat
menyebabkan botulisme pada manusia. Tipe C dan D menyebabkan sebagian besar
botulisme pada hewan. Hewan yang paling sering terinfeksi adalah unggas liar
dan unggas ternak, sapi, kuda, dan beberapa jenis ikan. Walaupun tipe G telah diisolasi
dari tanah di Argentina, belum ada kasus yang diketahui disebabkan oleh strain
ini.
B. Klasifikasi ilmiah
Kingdom : Bacteria
Division : Firmicutes
Class : Clostridia
Order : Clostridiales
Famili : Clostridiaceae
Genus : Clostridium
Spesies : Clostridium botulinum
C. Fisiologi
C.
botulinum termasuk bakteri yang
bersifat mesophilic dengan suhu optimum untuk tumbuh yaitu 370 C
untuk strain jenis A dan B serta 300 C
untuk strain jenis E. Suhu terendah dari strain jenis A dan B adalah 12,50 C
namun pernah juga dilaporkan bahwa kuman dapat tumbuh pada suhu 100 C.
Disisi lain spora jenis E dikatakan mampu tumbuh dan menghasilkan toksin pada
suhu 3,30 C, sementara jenis F dilaporkan
tumbuh dan menghasilkan toksin pada suhu 40 C
. Secara umum strain jenis E dan B bersifat non-proteolitik serta strain F suhu
minimum untuk tumbuhnya lebih kurang 100 C
lebih rendah daripada strain A dan B. Sedangkan suhu maksimum untuk tumbuhnya
yaitu : jenis A dan B pada suhu 500 C.
Strain jenis E memiliki suhu maksimum 5 derajat lebih rendah dari strain A dan
B dengan suhu optimumnya yaitu 300 C (Suardana,
2001; Cliver, 1990 ; Jay, 1978).
Produksi
toksin dari C. botulinum tergantung
dari kemampuan sel untuk tumbuh di dalam makanan dan menjadi autolisis disana
(Suardana, 2001; Frazier dan Westhoff, 1988). Lebih lanjut produksi toksin
dipengaruhi oleh komposisi dari makanan atau medium terutama glukosa atau
maltosa yang diketahui sangat potensial terhadap produksi toksin, kelembaban,
pH, potensial redok, kadar garam, temperatur dan waktu penyimpanan.
Berdasarkan
atas pH, dilaporkan bahwa C.
botulinum tidak mampu tumbuh pada pH di
bawah 4,5. Lebih jauh dilaporkan bahwa organisme akan tumbuh dengan baik dan
menghasilkan toksin pada pH 5,5-8,0 (Suardana, 2001; Jay, 1978). Sedangkan
Frazier dan Westhoff (1988) menyatakan bahwa nilai pH minimal untuk pertumbuhan
sel vegetatif adalah 4,87 sedangkan untuk petumbuhan spora 5,01 di dalam cairan
kaldu.
Nutrisi
yang diperlukan untuk pertumbuhan bersifat komplek, diperlukan asam amino, vitamin
B dan mineral. C. botulinum jenis
A dan B memerlukan kadar air 0,94 dan jenis E pada 0,97 Dilaporkan bahwa kadar
garam 10% atau 50% sukrosa akan menghambat pertumbuhan jenis A dan B. Tar dalam
Jay (1978) menyatakan bahwa pada konsentrasi 25-500 ppm dapat menghambat jenis
A lebih dari sebulan pada suhu optimum dengan pH 5,9-7,6. Di dalam penelitian
pembentukan toksin jenis E dan pertumbuhan sel didalam kalkun yang
diinkubasikan pada suhu 300 C, Midura et
al., dalam Jay (1978) menemukan bahwa spora jenis E akan memperbanyak diri dan
menghasikan toksin dalam waktu 24 jam. Penampakan toksin bertepatan dengan
pertumbuhan sel selama 2 minggu setelah toksin berada di luar sel hidup.
Penemuan ini mengungkapkan bahwa kemungkinan ditemukannya toksin jenis E di dalam
makanan tanpa ditemukannya sel jenis E.
Makanan
yang mengandung toksin umumnya tanpa jenis organisme yang lain, hal ini
disebabkan oleh perlakuan panas dan pengepakan vakum. Dilihat dari kehadiran
ragi, kuman dilaporkan dapat tumbuh dan menghasilkan toksin pada pH rendah 4,0.
Ragi dianggap menghasilkan faktor pertumbuhan yang diperlukan oleh Clostridia
untuk tumbuh pada pH rendah, sementara bakteri asam laktat diasumsikan sebagai
alat pertumbuhan dengan terjadinya penurunan potensial redok. Sejumlah strain
C. perfringens menghasilkan penghambat yang efektif terhadap 11 strain tipe A,
7 B proteolitik, dan 1 non proteolitik, pada 5 strain E dan 7 strain F. Kautter
et al., dalam Jay (1978) menemukan bahwa strain jenis E dihambat oleh organisme
non toksik lainnya yang mempunyai ciri morfologi dan uji biokimia yang sama
dengan tipe E. Organisme yang menunjukkan efek penghambatan ini menghasilkan
substansi seperti bakteriocin yang dikenal dengan nama bioticin. Laporan
menunjukkan bahwa adanya kaitan antara C. botulinumtipe
F dalam sampel lumpur selama periode waktu tertentu dengan kehadiran dari
Bacillus licheniformis, dan kahadiran bakteri ini dianggap sebagai pembawa
faktor penghambat untuk pertumbuhan strain jenis F (Suardana, 2001).
Botulisme karena makanan (untuk membedakan dari botulisme pada luka dan
botulisme pada bayi) merupakan jenis keracunan makanan yang parah. Penyakit ini
disebabkan oleh konsumsi makanan yang mengandung racun syaraf yang kuat, yang
dibentuk selama pertumbuhan organisme. Racun ini tidak tahan panas dan dapat
dihancurkan dengan pemanasan pada temperatur 80°C selama10 menit atau lebih.
Penyakit ini jarang terjadi, tetapi sangat diperhatikan karena apabila tidak
segera dirawat dengan benar, tingkat kematiannya tinggi. Kebanyakan kasus yang
dilaporkan setiap tahunnya berkaitan dengan makanan yang kurang diproses,
dikalengkan di rumah tangga, tetapi kadang-kadang makanan yang diproduksi
secara komersial juga terlibat dalam kasus tersebut. Sosis, produk daging,
sayuran kaleng, dan produk makanan laut, paling sering menjadi perantara dalam
kasus botulisme pada manusia.
Organisme ini dan sporanya tersebar luas di alam. Bakteri ini ada di tanah,
baik di tanah olahan, tanah hutan, endapan di dasar sungai, danau, dan perairan
pantai, dan di dalam usus ikan dan mamalia, dan di dalam insang dan organ dalam
kepiting dan jenis-jenis kerang lainnya.
D.
Gejala-gejala penyakit
Ada empat tipe botulisme yang dikenal: botulisme karena makanan, botulisme
pada bayi, botulisme pada luka, dan botulisme yang belum diklasifikasikan.
Makanan-makanan tertentu telah dilaporkan sebagai sumber spora dalam
kasus-kasus botulisme pada bayi dan kategori yang belum diklasifikasikan;
botulisme pada luka tidak terkait dengan makanan.
Botulisme karena makanan merupakan nama penyakit (sebenarnya keracunan
makanan) yang disebabkan oleh konsumsi makanan yang mengandung racun syaraf
yang diproduksi oleh C. botulinum .
Botulisme pada bayi, yang pertama kali dikenal tahun 1976, menginfeksi bayi
di bawah usia 12 bulan. Botulisme tipe ini disebabkan karena konsumsi
spora C. botulinum yang kemudian menghuni usus dan memproduksi
racun dalam saluran usus bayi ( intestinal toxemia botulism ).
Di antara berbagai sumber lingkungan yang potensial seperti tanah, air yang
ditampung, debu, dan makanan, madu merupakan sumber spora C.
botulinum yang sejauh ini dapat dipastikan menjadi penyebab botulisme
pada bayi, baik dari hasil penelitian laboratorium maupun penelitian
epidemiologi. Jumlah botulisme pada bayi yang dilaporkan meningkat tajam karena
meningkatnya pengetahuan para petugas kesehatan sejak dikenalnya penyakit ini
pada tahun 1976. Sekarang penyakit ini telah dikenal secara internasional, dan
kasusnya dilaporkan dari lebih banyak negara.
Botulisme pada luka merupakan tipe botulisme yang paling jarang terjadi.
Penyakit timbul ketika C. botulinum , baik secara tunggal
maupun bersama dengan mikroorganisme lain, menginfeksi luka dan menghasilkan
racun yang menyebar ke bagian tubuh lain melalui aliran darah. Makanan tidak
terlibat dalam botulisme tipe ini.
Kategori botulisme yang belum diklasifikasikan melibatkan kasus pada orang
dewasa di mana makanan tertentu atau luka sebagai sumber infeksi tidak dapat
diidentifikasi. Diduga, beberapa kasus botulisme yang termasuk kategori ini
mungkin disebabkan oleh pertumbuhan C. botulinum di dalam usus
orang dewasa, yang menghasilkan racun secara in vivo (di dalam tubuh). Laporan
dalam buku-buku kedokteran menunjukkan adanya botulisme yang mirip dengan
botulisme pada bayi, tetapi terjadi pada orang dewasa. Dalam kasus-kasus ini,
pasien sebelumnya pernah menjalani pembedahan saluran pencernaan dan atau
perawatan dengan antibiotik. Diduga bahwa perawatan-perawatan tersebut dapat
mengubah komposisi normal flora usus dan memungkinkan C.
botulinum untuk tumbuh dan berkembang biak di dalam usus.
Dosis infektif – sangat sedikit (beberapa nanogram) racun dapat menyebabkan
penyakit. Racun ini merupakan salah satu racun paling kuat yang dikenal di
alam.
Gejala-gejala botulisme karena makanan umumnya dimulai 18-36 jam setelah
konsumsi makanan yang mengandung racun, walaupun kasus-kasus yang ada
bervariasi antara 4 jam hingga 8 hari. Gejala awal keracunan terdiri dari rasa
lelah, lemah, dan vertigo, yang biasanya diikuti dengan penglihatan berganda
dan kesulitan bicara dan menelan yang meningkat. Kesulitan bernapas, rasa lemah
pada otot-otot lain, perut kembung dan konstipasi (sembelit) juga merupakan
gejala yang sering terjadi.
Gejala klinis botulisme pada bayi terdiri dari konstipasi yang terjadi
setelah masa pertumbuhan yang normal. Gejala ini diikuti dengan hilangnya nafsu
makan, mengantuk, lemah, keluarnya air liur, dan tangis yang keras, serta nyata
adanya kehilangan kontrol pada bagian kepala. Perawatan yang disarankankan
meliputi tindakan untuk mencegah, mengendalikan, atau menyembuhkan komplikasi
dan efek samping yang mungkin terjadi sehingga pasien merasa lebih nyaman (supportive
care ).Perawatan dengan obat-obatan antimikrobial tidak dianjurkan.
E.
Diagnosis
Walaupun botulisme dapat didiagnosis dengan gejala klinis saja, penyakit
ini mungkin sulit dibedakan dari penyakit-penyakit lainnya. Cara paling
langsung dan efektif untuk memastikan diagnosis klinis botulisme di dalam
labotarorium adalah dengan memeriksa adanya racun dalam serum atau kotoran
pasien atau dalam makanan yang dikonsumsi oleh pasien. Saat ini, metode deteksi
toksin yang paling sensitif dan digunakan secara luas adalah uji netralisasi
tikus ( mouse neutralization test ). Uji ini memerlukan waktu
48 jam. Pembiakan sample memerlukan waktu 5-7 hari.
Botulisme pada bayi didiagnosis dengan memeriksa adanya racun botulinal
dan C. botulinum di dalam kotoran bayi.
F.
Makanan yang terkait
Makanan yang terlibat dalam kasus botulisme beragam, sesuai dengan cara
pengawetan makanan dan kebiasaan makan di berbagai wilayah. Semua makanan yang
mendukung pertumbuhan dan produksi racun, yang setelah pemrosesannya
memungkinkan masih ada spora yang bertahan, dan sesudahnya tidak dipanaskan
sebelum dikonsumsi, dapat menyebabkan botulisme. Hampir semua jenis makanan
yang tidak asam (pH di atas 4.6) dapat mendukung pertumbuhan dan produksi racun
oleh C. botulinum . Racun botulinal telah dibuktikan ada pada
berbagai jenis makanan, seperti jagung kaleng, merica, kacang hijau, sup, bit,
asparagus, jamur, buah zaitun matang, bayam, ikan tuna, ayam, dan hati ayam dan
pasta dari hati ( liver pate ), dan daging olahan yang dimakan
dingin ( luncheon meat ), ham, sosis, terung isi, lobster,
ikan asap, dan ikan asin.
G.
Pencegahan
Pencegahan secara total tidak mungkin dilakukan. Semua makanan yang
dikalengkan dan diawetkan secara komersial umumnya aman untuk dikonsumsi
(semuanya telah disterilkan atau terlalu asam atau diawetkan dengan cara lain).
Produk segar tidak berbahaya. Racun dapat dihancurkan pada suhu 75°-80°C,
sehingga makanan yang telah dimasak dan dipanaskan aman dikonsumsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar